Minggu, 17 November 2013

artist vs teacher


pada tanggal 12 november 2013 di tempat saya bekerja diadakan uji kompetensi guru seni rupa dengan materi praktek seni lukis. acara ini merupakan rangkaian akhir dari serangkaian uji kompetensi guru yang meliputi uji bahasa inggris, materi ajar, komputer, micro teaching, dan praktek (khusus mata pelajaran yang ada prakteknya).
yang menarik dari materi terakhir ini (uji praktek) adalah perbedaan pandangan kesenian dari sudut pandang seorang guru dan seorang seniman. hal ini sebenarnya pernah saya alami saat saya pertama kali masuk di tempat kerja dimana saya bekerja sekarang. saat itu rekan kerja saya yang sesama guru seni rupa mengatakan "oh bu tiwi lulusan ISI (institut seni indonesia) ya, makanya tidak mempelajari semua materi hanya belajar patung saja". beliau mengatakan itu ketika tahu saya lulusan ISI jurusan seni patung dan beliau lulusan keguruan.perkataan itu cukup bikin saya kaget tapi tidak meluruhkan kebanggaan saya karena lulusan ISI :).
hal yang sama terjadi lagi saat dosen penguji mengatakan hal yang sama ketika observasi micro teaching. hal ini tidak mengganggu saya karena berkaitan dengan cara mengajar atau membuat perangkat pembelajaran yang memang sudah menjadi keahlian beliau. tapi yang cukup mengganggu saya adalah saat uji praktek.
uji praktek yang diadakan adalah melukis (jujur, saya kurang menyukai melukis. saya hanya suka bikin patung dan menggambar tapi bukan berarti saya tidak bisa melukis), dengan tema yang ditentukan diberitahu pada saat persiapan melukis which is at the day -.-;;. dan temanya pun cukup bikin bingung : alkitabiah dengan persyaratan harus ada figure. saya pun akhirnya memilih tema 5 roti dan 2 ikan. dengan teknik siluet.
hal yang paling menarik adalah saat perbedaan persepsi dari teknik. saya dan seorang rekan kerja yang juga mengikuti dan yang juga sama-sama lulusan ISI melukis dengan memanfaatkan konsep. teman saya tersebut mengambil objek wajah manusia ada aksen salib sebagai kalungnya, dan saat saya tanyakan kaitannya dengan alkitab apa beliau mengatakan "manusia diciptakan serupa dengan tuhan" dan tentunya hal ini bagi saya adalah bagus dan sesuai tapi bagi dosen penguji yang merupakan dosen keguruan mengatakan "gambar opo iki, ra jelas (gamabar apa ini, tidak jelas)". dan ketika beliau melihat lukisan saya komentarnya adalah "seharusnya dibagian sini ditambahin orang-orang yang banyak" dan ketika saya mengatakan "saya kalau bikin karya memang simple dan mengandalkan konsep" karena bagi saya yang terpenting adalah 5 roti dan 2 ikan jadi saya menjadikan objek itu sebagai point of interestnya dengan cara memberi warna yang berbeda. tapi beliau mengatakan "ya belajar bikin karya yang rumit dan susah".  padahal waktu saya melaksanakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan S1 saya memilih bentuk abstrak simbolis dan hampir semuanya simple tapi sah saja tuh.
dan saat saya melihat lukisan beliau, saya langsung ingat perkataan dosen saya dahulu "seperti karya yang ada di kalender" dalam artian sebuah karya yang bisa di copy paste dengan mudahnya kemudian dijual murah.
tulisan ini bukan bermaksud untuk mengejek sebuah karya karena saya sendiri menyadari kalau karya saya tidak bagus, maklum sudah cukup lama tidak bikin karya yang mengandalkan ego seniman apalagi dengan teknik lukis. tapi saya hanya ingin menunjukkan perbedaan persepsi seni antara seniman dengan guru. dan hal ini mengingatkan saya akan ucapan kakak saya saat saya menceritakan bahwa ada teman yang mengatakan  "oh bu tiwi lulusan ISI (institut seni indonesia) ya, makanya tidak mempelajari semua materi hanya belajar patung saja" kakak saya malah mengatakan "ya bagusan elu donk de, karena elu mempelajari sampai ke detail-detailnya  sebuah proses pembuatan karya kalau mereka kan hanya mempelajari permukaannya saja".
at the end, tetap semangArt lah bikin karya no matter what happen and no matter what people say :)


Minggu, 03 November 2013

akhir


"untuk apa menjadi makhluk hidup, toh akhirnya nanti juga mati. untuk apa mengumpulkan harta, toh nanti juga tidak bisa dibawa saat ajal tiba. untuk apa berjumpa dan bersahabat dengan banyak orang, toh pada akhirnya nanti aku sendirian melangkah kehadapanNya. untuk apa memiliki keluarga, toh nanti hanya kepedihan yang ada saat kehilangan mereka..."

itu adalah pemikiran yang gue temukan saat gue beranjak dewasa (sekitar umur 14-an). takut, sepi, useless. terkadang pemikiran itu kembali muncul dan tapi gue tidak merasakan rasa yang sama. apa karena gue udah siap??